gallery
Grahita Mawa Sandi
Pameran
Tunggal Andon Esty
9-18 Desember 2012
Gallery Roemah Pelantjong
Jalan Magelang Km 8,5 Sinduadi, Mlati, Sleman , Yogyakarta . Indonesia
Pembukaan : Minggu, 9 Desember 2012 Pukul
19.00 WIB
Dibuka oleh : Eko Rahmy
Penulis : M.Dwi
Maryanto
Dio Pamola
M c
: Herlina van Tojo
Aurelius Hendro
Performan ce Art : Kelompok Ultramen
Musikalisasi Puisi : ER. Fajar and
Friends
Musik Oleh : The Sunday
Support: Gallery Roemah Pelantjong
Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Sleman
Pintoe Oetara Art connection
Sanggar Semud Yogyakarta
Komunitas Satu Atap
Lanjar Jiwo Art Foundation
Kelompok Ultramen
Rembulan
Mungil Distro
Studio Gunung
Your Soul Art and Studio
Yogyakarta
Membaca
Garis-Garis Artistik Andon Esty
Barangkali
Prof. M. Dwi Marianto benar, tentang mimpi
masa kecil tidak pernah diam dan menyerah untuk selalu mengusik pemimpinya.
Mimpi masa kecil bisa menjadi kendala, atau bisa pula menjadi spirit untuk
terus hidup dan berjuang ke kehidupan yang lebih baik. Atau, mimpi buruk kerap
kali menjadi pemberat langkah, atau tali yang mengikat si pemimpinya pada masa
lalu.
Saya
cenderung menganggap mimpi sebagai gejala metafisik yang nun jauh disana ada
sesuatu yang bercerita lain. Ada sesuatu yang memang ada, diada-adakan, dan
mengada-ada, hmm……ada-ada saja. Terlepas dari apapun itu adanya, yang jelas
bagi seniman, mimpi adalah hal yang esensial. Bagi seniman mimpi adalah
imajinasi dan khayalan sebagai simbol kecerdasan intelektual dan kecerdasan
artistik. Lebih dari itu, mimpi juga berperan mengasah otak untuk
berkreativitas. Dari mimpi-mimpi itulah kemudian dalam hal ini, Andon Esty mulai membuka persentuhan dengan orang lain untuk
mengkomunikasikan hasil dari perenungan mimpi-mimpi itu, meski hanya berupa
tumpukan garis.
Garis-garis
Andon bukan garis biasa yang hadir begitu saja, namun lebih dari itu, sarat
dengan muatan empirikal yang dalam meski ia sendiri terbata untuk membahasnya. Nuansa
geraknya tertata dan dinamis meski tumpang tindih, berdesakan dan itu semua saling
mengisi. Garisnya mampu melahirkan bentuk sekaligus tektur, nada, nuansa, ruang
dan volume. Kepekaannya mengolah garis tidak saja berakhir sebagai sesuatu yang
tertata apik, namun lebih sebagai sesuatu yang terbaca secara apik.
Membaca
garis-garis artistik Andon, ada tersirat ketidak puasan di sana di baliknya.
Ada seribu satu pertanyaan yang hadir berderet. Ada nuansa kritik di situ, ada
kesan traumatik di situ, ada persoalan intuitif yang tidak terlepas dari diri
Andon dan persentuhannya dengan lingkungan dalam bentuk pengalaman empirikalnya
sendiri.
Ada
kesan yang selalu hadir dalam karya Andon, bahwa di balik tampilan visual
garis-garis itu ada sesuatu misteri yang mampu bercerita banyak. Andon sendiri
tidak menampik bahwa banyak kenangan di sana di garis itu. Ada sesuatu yang muncul perlahan, samar-samar
tentang bayang-bayang, entah apa itu sebenarnya. Terkadang terlihat sebagai
sosok figur, ada seperti benda dan bahkan ada yang menyerupai sesuatu yang
hanya ada dalam ilusi-ilusi inderawi kita. Andon membebaskan kita untuk menginterpretasi.
Yang
jelas, bagi Andon, representasi bentuk itu lahir begitu saja, spontan dan
segera tanpa rekaan awal kecuali hanya fantasi belaka dalam kepala yang diolah
pada kanvas-kanvas. Kesan itu juga tidak terlalu dipikirkan serta tanpa
kepentingan logika. “saya bisa dikatakan tidak menyeket bentuk-bentuk yang ada terlihat itu, saya mengolahnya
langsung pada kanvas saat saya melukis” ungkap Andon saat ngobrol-ngobrol di
studionya. Saya melihat ada semangat yang terbilang tinggi dari raut wajah dan
ekspresi emosinya. Meski hujan turun cukup deras, tidak lantas memadamkan
gejolak apresiatif yang meledak-ledak dalam dirinya. Andon sepertinya mencapai
klimaks ketika terus membentang lukisannya yang digulung-gulung untuk kami
bicarakan. Antusiasnya tinggi ketika obrolan berlanjut tentang goresannya yang
impresif.
Di
sisi lain secara visual, saya tidak membahas goresan itu -yang barangkali
memiliki kemiripan image dengan perupa lain- sebagai suatu peniruan nuansa.
Pada tempat dan waktu berbeda tidak tertutup kemungkinan lahir karya yang
memiliki ide, konsep, serta eksekusi yang hampir sama meski senimannya sendiri
berbeda. Namun demikian, perihal “lecut tangan” tentu akan ada bedanya, tetap
tidak bisa dipungkiri.
Saya
yakin, jika garis digoreskan dengan jujur mengikuti naluri intuitif, bisa
mencerminkan identitas seniman. Identitas itu pula nantinya yang membangun
image personal sehingga dapat melahirkan karakter ataupun perwatakan dari
seniman. Garis tidak hanya sebatas ketajaman, ketegasan dan karakter sebagai
sebuah identitas, namun garis pula sebagai wujud maya yang sekejap menjadi ada,
berdimensi, dan itu nyata sebagai sebuah realita. Beberapa seniman barat yang
kuat dalam menggunakan garis di antaranya Handry Matisse, Pablo Picasso, Paul
Klee, dan Roul Dufi. Mereka mampu hadir dengan image yang melekat.
Sekalipun
demikian, Andon Esty
tetaplah Andon Esty.
Seniman yang selalu memiliki stok mimpi yang siap untuk dikomunikasikan pada
media estetik dengan caranya sendiri. Selalu membuka diri untuk berkomunikasi
dan mengkomunikasikan gagasannya. Membiarkan apresiasi interpretatif mengalir
bebas sebebas kita menghirup udara segar dihari pagi. Ars longa vita brevis.
Yogyakarta,
Penulis.
Dio
Pamola